Nyadar
(upacara adat) adalah kekayaan tradisi masyarakat petani garam Desa
Pinggir Papas. Nyadar dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, disebut juga
asta, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang.
Dalam setahun dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu satu
bulan berselang. Pada Nyadar ketiga biasa mereka sebut dengan Nyadar Bengko.
Lokasi Upaca adat tersebut berada di Dusun Kolla, Desa
Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Dari kota Sumenep sendiri
untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13 kilometer lagi ke
arah Selatan.
Waktu
Penentuan waktu pelaksanaan Nyadar
berdasar musyawarah para pemuka adat, yang masih merupakan keturunan dari
leluhur Anggasuta. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadar.
Syarat tersebut terdapat kaitan dengan peringatan Maulid Nabi. Yang pertama,
pelaksanaan upacara tidak diperkenankan diadakan sebelum tanggal 12 Maulid.
Kedua, selamatan yang tidak boleh melebihi besarnya selamatan yang diadakan
untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dan syarat yang lain adalah para
peserta upacara Nyadar terlebih dahulu diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari
syarat tersebut selain mengindikasikan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang
setelah Islam masuk. Selain itu juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap
leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap Rasulullah.
Tempat pelaksanaan
Nyadar pertama dan kedua dilakukan
di sekitar asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang
ada di Desa Kebundadap Barat, pada Nyadar ketiga dilakukan di desa Pinggir
Papas. Konon hal ini juga berangkat dari nadar Syeh Dukun, yang juga ingin
melakukan syukur tetapi hanya di lingkungan rumahnya (dalam Bahasa Madura
disebut bengko) atau diantara keluarganya sendiri. Namun demikian ada yang khas
dari pelekasanaan Nyadar ketiga ini.
Di Nyadar ketiga ini, pada malam
harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana
tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya
cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jatiswara. Cerita Jatiswara
ini mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian
yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan
jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.
Sejarah awal mula Nyadar
Pangeran Anggasuto adalah salah satu tokoh masyarakat
yang menyelamatkan orang-orang Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan
Pasukan Karaton Sumenep.
Dikisahkan, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang
maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa
dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di
daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana
kondisinya. Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Pangeran
Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu
waktu, Pangeran Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu
begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas
tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke
arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya
bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat
bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan benda putih tersebut? Adakah benda
putih itu adalah madduna sagara (Madunya Samudra, red)?
Akhir kata, benda itu kemudian oleh Pangeran Anggasuto
disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal
dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru
daerah.
Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata
memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata
pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa
masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatera. Dan waktu terus
berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan
Anggasuto terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Selain
itu juga cara memindah-mindah air laut.
Dari air kesatu hingga air kedua puluh lima yang baru
menjadi garam. Yang dimaksud disini adalah kadar air. Kemudian daerah tersebut
disebut dengan padaran atau sekarang dikenal dengan talangan. Maka jadilah
daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan mayoritas masyarakatnya
mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam.
Konon setelah garam-garam itu menunjukkan hasil,
Anggasuto sebagai manusia yang senantiasa tidak lupa pada sang pemberi rejeki.
Suatu ketika dia pun bernadar, setiap jatuh pada bulan dan tanggal panas
matahari (masuk musim kemarau) akan melakukan Nyadar, semacam bakti syukur atas
anugerah yang diberikan Tuhan. Maka jadilah dilakukan upacara Nyadar pertama.
Dalam perjalanan waktu adik dari Anggasuto, Kabasa,
juga melakukan nadar yang sama. Maka jadilah upacara Nyadar yang kedua. Yang
waktunya satu bulan berselang setelah Nyadar pertama dilakukan. Demikian halnya
pada pelaksanaan Nyadar ketiga, yang merupakan nadar dari Dukun. Berdasar
referensi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep menyebutkan
Syeh Dukun ini adalah pembantu Anggasuto yang berasal dari Banten.








0 komentar:
Posting Komentar