This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 22 Desember 2013

Pantai Lombang Kota Sumenep - Madura

ImagePantai Lombang adalah salah satu pantai yang terletak di kabupaten Sumenep, Madura. Pantai ini tepatnya terletak di sebelah timur Sumenep, kira-kira 25km dari Kota Sumenep tepatnya di Kecamatan Batang-Batang. Pantai Lombang merupakan salah satu wisata alam unggulan di Bumi Sumekar. Di pantai ini, selain deburan ombak yang cukup tenang dan pasir putih yang sangat halus, para pengunjung juga akan disuguhi dengan rimbunnya pohon cemara udang yang berjajar mengikuti garis bibir pantai.

Sejarah tumbuhnya pohon Cemara Udang
Cemara Udang adalah endemi tumbuhan khas dari pantai ini, konon menurut sebagian besar masyarakat tumbuhan ini hanya tumbuh di Pantai Lombang dan beberapa pantai di perairan laut Tiongkok. Sejarah penyebaran pohon cemara udang di wilayah perairan Sumenep erat kaitannya dengan ekspedisi besar kekaisaran negeri Tiongkok dalam mengarungi perairan nusantara pada abad 15 yang dipimpin oleh Jenderal The Ho (Sampo Thai Kam), Jenderal Ma’huan dan Jenderal Ong Keng Hong, ketiganya juga dikenal dengan sebutan SAM PO TOA LANG yang artinya Tiga Pendekar Besar dan dalam logat Jawa kuno dikenal dengan nama Dempo Awang. Muhibah tersebut membawa kapal sebanyak 62 armada, dengan pasukan perang 27.800 orang, konon muhibah besar itu merupakan suatu pelayaran terbesar kala itu. Bila berlayar seakan menutup keluasan lautan yang dilewatinya, banyak para negara tetangga yang merasa takjub dan khawatir. Kelihatannya memang seolah Kaisar daratan China memamerkan kekuatannya kepada negeri-negeri tetangga dan menunjukkan bahwa dirinya sebagai negara super power, adigang adigung adiguno, seolah tidak ada negara lain yang bisa melindunginya. Tapi sesampainya di laut Jawa, salah satu kapal induk membentur batu karang sampai hancur, dg kejadian tsb Jenderal Ong Keng Hong selaku jurumudi utama meninggal dunia, kemudian semua armada dirapatkan ke pantai, maka tempat merapatnya kapal-kapal armada tersebut diabadikan dengan nama Mangkang, yang artinya wangkangnya kapal, letaknya sekitar 10km di sebelah barat kota Semarang. Karena Ong Keng Hong pemeluk agama Islam, maka dikuburkan secara Islam di daerah Gedongwatu. Setelah selesai upacara penguburan lalu pelayaran muhibah besar tersebut dilanjutkan menuju ke pusat kerajaan Majapahit, tapi rupanya kemalangan masih tetap mengikuti mereka, kapal-kapal terbawa arus ke arah timur dan dilanda angin topan disekitar perairan Masalembu, maka sebagian banyak yang tenggelam, juga banyak yang hancur serta perlengkapannya banyak yang terdampar di pantai sekitar pulau Jawa dan Madura, seperti halnya : Jangkarnya ada di Pati, piringnya ditemukan di pantai Kamal yang kemudian diabadikan dengan nama Ujung Piring, tiangnya ditemukan di perairan masuk Kabupaten Sumenep, itiknya banyak beterbangan di selat Kamal maka bilamana kita naik perahu layar akan terdengar sayup-sayup suara itik mengalun. Dari kisah diatas bisa dipastikan, bahwa beberapa tumbuhan "Cemara Udang" yang ada di perairan utara Kabupaten Sumenep, merupakan hasil dari sisa-sisa bawaan prajurit-prajurit yang terdampar di perairan Sumenep ketika dalam perjalanan ekspedisi muhibah tsb.

Lokasi

Secara administratif, Pantai Lombang terletak di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.

Akses

Pantai Lombang terletak sekitar ± 30 km dari Kota Sumenep ke arah timur laut. Untuk mencapai lokasi, wisatawan dapat memanfaatkan angkutan umum, persewaan mobil, atau menyewa ojek dengan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan. Bila Anda berdomisili di luar Pulau Madura, Anda dapat menyeberang melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya menuju Pelabuhan Kamal, Bangkalan Madura dengan kapal ferry. Dari Bangkalan, Anda dapat menggunakan angkutan umum menuju Kota Sumenep.

Harga Tiket

Biaya karcis untuk memasuki pantai ini adalah Rp 5.000 per orang.

Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Wisatawan yang ingin bermalam di pantai ini dapat mendirikan tenda di tepi pantai, sebab belum tersedia hotel di sekitar pantai ini. Fasilitas penginapan yang ada, yaitu pondok-pondok alami dari kayu, biasanya hanya diperuntukkan bagi peserta paket wisata dari agen perjalanan tertentu. Apabila terpaksa harus menginap, wisatawan dapat memperoleh jasa hotel di Kota Sumenep. Di pantai ini telah tersedia kamar bilas bagi para pengunjung untuk membersihkan badan sehabis bermain pasir atau berenang. Jika ingin duduk-duduk santai, wisatawan dapat memanfaakan beberapa tempat duduk atau warung-warung kecil di pinggir pantai yang menjual `es degan` (kelapa muda) serta `rujak lontong` (rujak Madura). Di tengah teriknya matahari, rujak lontong yang lezat, serta segarnya es degan sangat cocok untuk dinikmati.

Upacara Adat "Nyadar" Kota Sumenep - Madura

Nyadar (upacara adat) adalah kekayaan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas. Nyadar dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, disebut juga asta, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang. Dalam setahun dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang. Pada Nyadar ketiga biasa mereka sebut dengan Nyadar Bengko. Lokasi Upaca adat tersebut berada di Dusun Kolla, Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Dari kota Sumenep sendiri untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13 kilometer lagi ke arah Selatan.
Waktu
Penentuan waktu pelaksanaan Nyadar berdasar musyawarah para pemuka adat, yang masih merupakan keturunan dari leluhur Anggasuta. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadar. Syarat tersebut terdapat kaitan dengan peringatan Maulid Nabi. Yang pertama, pelaksanaan upacara tidak diperkenankan diadakan sebelum tanggal 12 Maulid. Kedua, selamatan yang tidak boleh melebihi besarnya selamatan yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dan syarat yang lain adalah para peserta upacara Nyadar terlebih dahulu diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari syarat tersebut selain mengindikasikan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang setelah Islam masuk. Selain itu juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap Rasulullah.
Tempat pelaksanaan
Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang ada di Desa Kebundadap Barat, pada Nyadar ketiga dilakukan di desa Pinggir Papas. Konon hal ini juga berangkat dari nadar Syeh Dukun, yang juga ingin melakukan syukur tetapi hanya di lingkungan rumahnya (dalam Bahasa Madura disebut bengko) atau diantara keluarganya sendiri. Namun demikian ada yang khas dari pelekasanaan Nyadar ketiga ini.
Di Nyadar ketiga ini, pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat atau membaca layang. Dimana tulisannya masih menggunakan tulisan Jawa kuno dengan media daun lontar. Jalannya cerita dalam mocopat tersebut, yang pertama adalah Jatiswara. Cerita Jatiswara ini mengisahkan jalannya nyawa dan raga dari perjalanan hidup manusia. Kemudian yang kedua ceritanya Sampurnaning Sembah. Yang kedua ini lebih mengisahkan jalannya bakti manusia kepada sang Pencipta, atau hal Syari’at.
Sejarah awal mula Nyadar
Pangeran Anggasuto adalah salah satu tokoh masyarakat yang menyelamatkan orang-orang Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan Pasukan Karaton Sumenep. Dikisahkan, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya. Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Pangeran Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Pangeran Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna putih. Anggasuto sempat bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan benda putih tersebut? Adakah benda putih itu adalah madduna sagara (Madunya Samudra, red)?
Akhir kata, benda itu kemudian oleh Pangeran Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru daerah.
Seiring perputaran jaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatera. Dan waktu terus berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan Anggasuto terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Selain itu juga cara memindah-mindah air laut.
Dari air kesatu hingga air kedua puluh lima yang baru menjadi garam. Yang dimaksud disini adalah kadar air. Kemudian daerah tersebut disebut dengan padaran atau sekarang dikenal dengan talangan. Maka jadilah daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan mayoritas masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam.
Konon setelah garam-garam itu menunjukkan hasil, Anggasuto sebagai manusia yang senantiasa tidak lupa pada sang pemberi rejeki. Suatu ketika dia pun bernadar, setiap jatuh pada bulan dan tanggal panas matahari (masuk musim kemarau) akan melakukan Nyadar, semacam bakti syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Maka jadilah dilakukan upacara Nyadar pertama.

Dalam perjalanan waktu adik dari Anggasuto, Kabasa, juga melakukan nadar yang sama. Maka jadilah upacara Nyadar yang kedua. Yang waktunya satu bulan berselang setelah Nyadar pertama dilakukan. Demikian halnya pada pelaksanaan Nyadar ketiga, yang merupakan nadar dari Dukun. Berdasar referensi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep menyebutkan Syeh Dukun ini adalah pembantu Anggasuto yang berasal dari Banten

Masjid Agung Kota Sumenep - Madura

ImageMasjid Agung Sumenep adalah masjid yang berada di Sumenep Madura. Berdiri menghadap alun alun kota Sumenep Masjid Agung Sumenep yang dulunya disebut masjid Jami, menjadi salah satu penanda kota Sumenep.
Sejarah Pembangunan
Masjid jamik Panembahan Somala atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Jamik Sumenep merupakan salah satu bangunan 10 masjid tertua dan mempunyai arsitektur yang khas di Nusantara. Masjid Jamik Sumenep saat ini telah menjadi salah satu landmark di Pulau Madura. Dibangun Pada pemerintahan Panembahan Somala, Penguasa Negeri Sungenep XXXI, dibangun setelah pembangunan Kompleks Keraton Sumenep, dengan arsitek yang sama yakni Lauw Piango.
Menurut catatan sejarah Sumenep, Pembangunan Masjid Jamik Sumenep dimulai pada tahun 1779 Masehi dan selesai 1787 Masehi. Bangunan ini merupakan salah satu bangunan pendukung Karaton, yakni sebagai tempat ibadah bagi keluarga Karaton dan Masyarakat, masjid ini adalah masjid kedua yang dibangun oleh keluarga keraton, dimana sebelumnya kompleks masjid berada tepat di belakang keraton yang lebih dikenal dengan nama Masjid laju yang dibangun oleh Kanjeng R. Tumenggung Ario Anggadipa, penguasa Sumenep XXI.
Arsitektur
Atap bersusun pada Masjid Agung Sumenep Arsitektur bangunan masjid sendiri, secara garis besar banyak dipengaruhi unsur kebudayaan Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura, salah satunya pada pintu gerbang pintu masuk utama masjid yang corak arsitekturnya bernuansa kebudayaan Tiongkok. Untuk Bangunan utama masjid secara keseluruhan terpengaruh budaya Jawa pada bagian atapnya dan budaya Madura pada pewarnaan pintu utama dan jendela masjid, sedangkan interior masjid lebih cenderung bernuansa kebudayaan Tiongkok pada bagian mihrab.
Masjid ini juga dilengkapi minaret yang desain arsitekturnya terpengaruh kebudayaan Portugis, minaretnya mempunyai tinggi 50 meter terdapat di sebelah barat masjid, dibangun pada pemerintahan Kanjeng Pangeran Aria Pratingkusuma. Di kanan dan kiri pagar utama yang masif juga terdapat bangunan berbentuk kubah. Pada Masa pemerintahan Kanjeng Tumenggung Aria Prabuwinata pagar utama yang cenderung masif dan tertutup, dimana semula dimaksudkan untuk menjaga ketenangan jema'ah dalam menjalankan ibadah dirubah total berganti pagar besi.
Mihrab dan mimbar ganda Masjid Agung Sumenep
Untuk Halaman Masjidnya sendiri terdapat pohon sawo (Bahasa Madura: Sabu) dan juga pohon tanjung. Dimana kedua pohon tersebut konon merupakan penghias utama halaman masjid karena dipercaya mempunyai makna filosofi sebagai berikut:
·       Sabu adalah penyatuan kata sa dan bu, sa mempunyai maksud shalat dan bu mempunyai maksud ja' bu-ambu
·       Tanjung adalah penyatuan kata ta dan jung, ta mempunyai maksud tandha, dan jung mempunyai maksud ajhunjhung
·       dan Masjid sendiri bermakna pusat kegiatan dalam mensyiarakan agama Allah.
jadi apabila dijabarkan kesemuanya mengadung maksud dan harapan sebagai berikut :
Shalat ja' bu-ambu, tandha ajhunjhung tenggi kegiatan agama Allah artinya : Shalat lima waktu janganlah ditinggalkan, sebagai tanda menjunjung tinggi agama Allah.
Interior
Ukiran jawa dalam pengaruh berbagai budaya menghiasai 10 jendela dan 9 pintu besarnya. Bila diperhatikan ukiran di pintu utama masjid ini dipengaruhi budaya China, dengan penggunaan warna warna cerah. Disamping pintu depan mesjid sumenep terdapat jam duduk ukuran besar bermerk Jonghans, diatas pintu tersebut terdapat prasasti beraksara arab dan jawa.
Didalam mesjid terdapat 13 pilar yang begitu besar yang mengartikan rukun solat. Bagian luar terdapat 20 pilar. Dan 2 tempat khotbah yang begitu indah dan diatas tempat Khotbah tersebut terdapat sebuah pedang yang berasal dari Irak. Awalnya pedang tersebut terdapat 2 buah namun salah satunya hilang dan tidak pernah kembali.
Filosofi Pintu Gerbang Utama Masjid
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/89/Gerbang_Masjid_Sumenep.jpg/280px-Gerbang_Masjid_Sumenep.jpg
Gerbang Masjid Agung Sumenep
Masjid jamik dan sekelilingnya memakai pagar tembok dengan pintu gerbang berbentuk gapura. Pintu Masjid Jamik berebentuk gapura asal kata dari bahasa arab "ghafura" yang artinya tempat pengampunan". Gapura ini syarat akan ornamen yang mempunyai banyak filosofi sebagai salah satu harapan dari sang Panembahan kepada rakyatnya ketika menjalankan ibadah.
Diatas gapura akan kita temui ornamen berbentuk dua lubang tanpa penutup, keduanya diibaratkan dua mata manusia yang sedang melihat. Lalu diatasnya juga terdapat ornamen segilima memanjang ketaatas, diibaratkan sebagai manusia yang sedang duduk dengan rapi menghadap arah kiblat dan dipisahkan oleh sebuah pintu masuk keluar masjid, yang mengisyaratkan bahwa apabila masuk atau keluar masjid harus memakai tatakrama dan harus meliha jangan sampai memisahkan kedua orang jema'ah yang sedang duduk bersama dan ketika imam masjid keluar menuju mimbar janganlah berjalan melangkahi leher seseorang.
Dikanan kiri gapura juga terdapat dua pintu berbentuk lengkung, keduanya mengibaratkan sebagai kedua telinga manusia. dimaksudkan agar para jema'ah masjid ketika dikumandangkannya adzan, bacaan alquran, ataupun disampaikannya khotbah haraplah bersikap bijak untuk tidak berbicara dan mendengarkannya dengan seksama. Disekeliling gapura juga terdapat ornamen rantai, hal ini dimaksudkan agar kaum muslim haruslah menjaga ikatan ukuwah islamiyah agar tidak bercerai berai.
Wasiat Panembahan Somala untuk Bangunan Masjid Jamik Sumenep
Wasiat ini ditulis tahun 1806 M atau 19 tahun setelah bangunan Masjid ini selesai dibangun. Penulisan prasasti tersebut juga bertepatan dengan ditetapkannya Pangeran Abdurrachamn Tirtodiningrat putra Panembahan Somala sebagai Nadir Wakaf sebelum beliau naik tahta menjadi Adipati Sumenep XXXII.

Masjid ini adalah baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa Negeri/Karaton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya masjid ini adalah wakaf, tidak boleh diwarisi dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.

Asta Tinggi Kota Sumenep - Madura

Asta Tinggi adalah kawasan pemakaman khusus para Pembesar/Raja/Kerabat Raja yang teletak di kawasan dataran tinggi bukit Kebon Agung Sumenep. Dalam Bahasa Madura, Asta Tinggi disebut juga sebagai Asta Rajâ yang bermakna makam para Pangradjâ (pembesar kerajaan) yang merupakan asta/makam para raja , anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar tahun 1750M. Kawasan Pemakaman ini direncanakan awalnya oleh Panembahan Somala dan dilanjutkan pelaksanaanya oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I dan Panembahan Natakusuma II
Asta Tinggi memiliki 7 kawasan
1. Kawasan Asta Induk, terdiri dari :
·       Kubah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
·       Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro ( Bendoro Saod ),
·       Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III ( Pangeran Akhmad atau Pangeran Djimat ) , yang kubahnya tersebut berasal dari Pendopo Kraton Pangeran Lor/Wetan,
·       Pangeran Pulang Djiwo yang kubahnya tersebut juga berasal dari Kraton Pangeran Lor/Wetan,
·       Pemakaman Istri-istri serta selir Raja-Raja Sumenep,
2. Kawasan Makam Ki Sawunggaling Konon diceritakan bahwa K. Saonggaling adalah pembela Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bendoro Moh. Saod) pada saat terjadinya upaya kudeta/perebutan kekuasaan oleh Patih Purwonegoro),
3. Kawasan Makam Patih Mangun,
4. Kawasan Makam Kanjeng Kai/Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I),
5. Kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo / Moh. Saleh, dimana beliau tersebut pada masa hidupnya menjabat sebagai Patih pada Pemerintahan Panembahan Somala dan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
6. Kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep,
7. Kawasan Makam Raden Wongsokoesomo.

Arsitektur Makam
Arsitektur Makam dalam kompleks ini sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan yang berkembang pada masa Hindu. Hal tersebut dapat dilihat dari penataan kompleks makam dan beberapa batu nisan yang cenderung berkembang pada masa awal islam berkembang di tanah Jawa dan Madura. Selain itu pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Tiongkok terdapat pada beberapa ukiran yang berada pada kubah makam Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, makam Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III dan makam Pangeran Pulang Djiwo.
Selain itu pengaruh Arsitektur Eropa mendominasi bangunan kubah makam Sultan Abdurrhaman Pakunataningrat I dan Makam Patih Mangun yang ada diluar Asta induk. Dalam kawasan kubah makam Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I, Seluruh bangunnannya dipengaruhi gaya arsitektur klasik, kolom-kolom ionic masih dipakai dibeberapa tempat termasuk juga pada Kubah Makamnya.
Mitos makam Pangeran Dipenogoro di Kompleks Asta Tinggi
Keberadaan Makam Pahlawan Nasional "Pangeran Dipenogoro" di Kawasan Kompleks makam Asta Tinggi dijelaskan dalam Babad Sumenep yang ditulis oleh R. Werdhisasta sebagai berikut :
Kaotja’a radji patmèna Soltan èngghâpanèka pottrèna Kyaè Adipati Soeroadimenggolo, Boepatè Samarang ; mèlaèpon nalèka perrang Dhipanaghârâ, serrèng Kandjeng Soltan aperrang sareng bhâlâ-bhâlâna dhibi’ dâri Samarang, sè padâ noro’ dâ’ Pangèran Dhipanaghârâ. Abiddhâ Kandjeng Soltan Songennep sè aperrang è Djhoekdjakarta 19 boelân, pas ghoebhâr ka Songennep. Dhinèng bhâlâ pandjhoeriddhâ èdhingghâl è Djhoekdjâ kantos saoboessa perrang. Sè dhâddhi kapalana pandjhoerit Songennep èngghâpanèka tra-pottrana kandjeng Soltan, bânnja’na kaempa :
·       Pangèran Koesoema Senaningalaga, Kolonel Commandant pandjhoerit Songennep,
·       Pangèran Koesoema Sinrangingrana, Luitenant Kolonel Infanterie,
·       Pangèran Koesoema Soerjaningjoeda, Majoor Artilerie (èsebboet Pangèran Marijem ),
·       Pangèran Tjandranimprang, Majoor Cavalerie.
Abiddhâ perrang è Djhoekdjakarta 5 taon, oboessa ètaon 1830. Pangèran Dhipanaghârâ èallè dâ’ Songennep ................
Selain petikan babad tersebut, dijlaskan juga bahwa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I pernah memberi wasiat kepada seluruh keturunan abdi dalem keraton dan para sentana keraton Songennep, dengan memberikan nama kepada para penjaga Asta Tinggi seperti Kaji Sèngnga, Kaji Buddhi, Kaji Nangger, Kaji Makam, Kaji Jhâjâbângsa, Kaji Jhâjâaddur, Kaji Sekkar, dan Kaji Langghâr. Bilama nama-nama tersebut dirangkai dirangkai maka akan terjadi suatu kalimat yg berbunyi sebagai berikut : “Sènga’ sopajâ èkatao-è, jhâ’ è buḍina Asta tèngghi arèya baḍa bungkana nanggher, è seddhi’na nanggher bâḍâ kobhurânna orèng sè abillai kajhâjâ-ân bhângsa tor abhillai agâma. Ngarep sopajâ èsekkarè (diziarahi), mon ta’ sempat, kèbâ kèyaè soro duwâ’âghi”.
yang artinya :
Awas, supaya diketahui, bahwasanya dibelakang Asta Tinggi ini ada sebatang pohon angger dan disebelahnya ada kuburan seseorang yang membela kejayaan bangsa dan agama. Mohon supaya diziarahi, dan bilamana tidak sempat, bawalah seorang kiyai untuk didoakan.
Upaya pengeboman kawasan Asta Tinggi oleh tentara penjajah

Disebutkan dalam buku Perjalanan dari Soengenep ka Batawi, karya Raden Sastro Soebrata terbitan Balai Pustaka tahun 1920. Konon memuat cerita, bahwa kawasan makam asta tinggi pernah dilakukan pengeboman jarak jauh (dari atas kapal laut di Kalianget) oleh tentara Inggris karena mengira bahwa bangunan tersebut adalah istana kerajaan. Namun demikian, pengeboman tersebut tidak sampai menghancurkan asta tinggi karena jatuh di luar kawasan.